ClawsNews,GAZA – Setelah lebih dari 42.000 warga Palestina tewas dalam kurang dari 12 bulan pertempuran di Gaza, berbagai alasan yang dikemukakan Israel untuk memulai konflik ini masih belum terpenuhi, menurut para analis yang diwawancarai oleh Al Jazeera. Keamanan internal Israel kini tampak lebih mendesak dibandingkan saat mereka memulai serangan pada 7 Oktober 2023, setelah serangan yang dipimpin Hamas di Israel selatan yang menewaskan 1.139 orang dan sekitar 250 orang lainnya ditawan.
Israel dan Serangan Militer: Apa yang Diharapkan?
Israel mengklaim bahwa mereka telah membunuh pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, yang diduga merencanakan serangan pada 7 Oktober. Sinwar telah lama dianggap sebagai penyebab utama dari banyak kekerasan yang terjadi. Namun, alih-alih membahas gencatan senjata dan bernegosiasi untuk pembebasan tawanan, Israel malah semakin meningkatkan agresi mereka. Serangan militer yang dilakukan Israel, yang dimulai dengan Gaza, terus berlanjut ke berbagai front baru setelah serangan 7 Oktober.
Walaupun Israel mengklaim berhasil mengurangi kemampuan Hamas, konflik ini masih jauh dari selesai. Pada 8 Oktober 2023, kelompok Hizbullah Lebanon juga meluncurkan serangan lintas batas ke Israel sebagai respons terhadap pembantaian warga Palestina di Gaza. Israel membalas dengan serangan udara ke wilayah sipil Lebanon, sering kali mengklaim bahwa mereka sedang menargetkan “aset Hizbullah yang tersembunyi”. Tindakan agresif ini seolah menjadi ciri khas Israel dalam konflik ini, di mana perang semakin menjadi bagian dari kehidupan negara tersebut.
Mengapa Israel Memilih Perang sebagai Solusi?
1. Pengaruh Kelompok Kanan dalam Pemerintahan
Setelah serangan pada 7 Oktober 2023, politik Israel dilanda perubahan signifikan dengan pembentukan kabinet koalisi oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Pembentukan koalisi ini memperburuk kebangkitan elemen sayap kanan dalam politik Israel, yang semakin menguasai pemerintahan. Faksi-faksi sayap kanan, seperti yang dipimpin oleh Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, memegang kendali penting atas kebijakan Israel, termasuk kebijakan keamanan dan ekspansi permukiman di Palestina.
Di bawah kepemimpinan mereka, aparat keamanan Israel telah berubah menjadi alat politik yang lebih dekat dengan ideologi sayap kanan. Ini tercermin dalam kebijakan mereka yang lebih keras terhadap Palestina dan juga dalam pengembangan “garda nasional” yang bertujuan menanggapi protes dan kerusuhan terkait perampasan tanah.
2. Perpecahan Sosial di Dalam Negeri
Serangan Hamas pada 7 Oktober dan dampaknya terhadap warga Israel telah memperburuk perpecahan sosial yang sudah ada. Sejumlah warga Israel, terutama dari kalangan sekuler dan “rasionalis”, merasa semakin teralienasi oleh kebijakan ekstrem sayap kanan. Hal ini telah menyebabkan banyak dari mereka, terutama kaum elit, mempertimbangkan untuk meninggalkan negara tersebut, menurut laporan para akademisi Israel.
Menurut para penulis laporan tersebut, jika eksodus ini berlanjut, Israel mungkin menghadapi ancaman serius terhadap keberlanjutan statusnya sebagai negara Yahudi yang berdaulat dalam beberapa dekade mendatang.
3. Luka Nasional yang Dalam
Bagi banyak warga Israel, serangan Hamas pada 7 Oktober dan nasib para tawanan yang masih belum kembali menciptakan bekas luka nasional yang dalam. Proses pemulihan dari tragedi tersebut tampaknya sangat lambat, dengan rasa sakit dan kemarahan yang masih terasa kuat. Keinginan untuk membalas dendam terhadap para penyandera menjadi alasan utama bagi para pemimpin politik Israel untuk mendukung serangan militer yang lebih brutal di Gaza. Namun, meskipun banyak pemimpin Hamas yang tewas, kelompok tersebut tetap memiliki banyak pejuang yang dapat melanjutkan perlawanan.
4. Ketidakpastian Masa Depan Israel
Dalam kondisi yang semakin memburuk, banyak pengamat di Israel yang khawatir tentang masa depan negara tersebut. Beberapa analis melihat perubahan besar dalam pemikiran politik, dengan para pejabat pemerintah, terutama Netanyahu, semakin mengadopsi pandangan mesianik dan agresif dalam menghadapi konflik ini. Netanyahu, yang melihat perang ini sebagai perjuangan peradaban, tampaknya lebih fokus pada pembalasan dan pembuktian diri sebagai pemimpin yang tegas, ketimbang mencari solusi perdamaian.
Menurut mantan duta besar Israel Alon Pinkas, tidak ada strategi yang jelas dari pihak Israel dalam menghadapi krisis ini. Netanyahu, yang melihat dirinya sebagai pahlawan seperti Winston Churchill, tampaknya akan terus memimpin Israel dalam jalur yang lebih militaristik, meskipun harga yang harus dibayar sangat tinggi, baik dalam segi nyawa maupun stabilitas internal negara tersebut.